Jl. Singosari Timur 1A Semarang 50242, Telp: 024-8447350

.

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Selasa, 07 Juni 2011


Saleh Sosial VS Saleh Individu (Ritual)

Saat tulisan mengenai agama atau ke-Islaman di posting di media ini, sejumlah Kompasianers banyak yang mengkritisi mengenai pemahaman sebagian kaum muslimin yang dianggap lebih mementingkan kegiatan ibadah ritual (seperti sholat, puasa, haji, zikir, doa, dll) dibandingkan dengan kegiatan sosial yang mempunyai dampak kebaikan pada masyarakat. Pertanyaan pun terlontar, mengapa bisa terjadi demikian, sehingga tak sedikit orang yang lebih cenderung mementingkan kesalehan ritual dibandingkan kesalehan sosial ?
Banyak jawaban yang dapat dikemukakan, namun sekurangnya ada tiga hal yang yang dapat menjelaskan masalah tersebut, yaitu (1) pemahaman atas esensi ajaran Islam, (2) pemahaman atas fungsi kegiatan ritual, dan (3) pemahaman atas konteks sejarah lahirnya Islam di tengah masyarakat Arab.
1. Pemahaman Esensi Ajaran Islam
Pemahaman atas esensi ajaran Islam berdasarkan sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits) akan memperoleh gambaran yang nyata, bahwa kesalehan sosial jauh lebih utama dibandingkan dengan kesalehan ritual atau kesalehan individual. Berikut ini, adalah beberapa contoh yang terkait dengan masalah tersbut, antara lain :
Pertama, Al-Qur’an dan Hadits memberikan proporsi yang lebih besar atas kegiatan umatnya yang berkenaan dengan muamalah (urusan sosial) dibandingkan dengan urusan “ubudiyah (urusan ritual). Ayatullah Khomeini dalam Al-Hukumah al Islamiyah (dikutip dari Jalaludin Rakhmat : 1988), menyebutkan bahwa perbandingan ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut muamalah adalah 1 : 100. Artinya, untuk satu ayat masalah ibadah, maka ada 100 ayat yang bicara masalah muamalah. Misalnya, yang berkenaan dengan tanda-tanda orang beriman (Q.S 23:1-9), atau tanda orang bertaqwa (Q.S. 3 : 133-135), dijelaskan bahwa tanda yang berkenaan dengan muamalah (memegang amanat, menghindar dari perbuatan tidak bermanfaat, infaq, menahan amarah, memaafkan mansuaia, dll) jauh lebih banyak dibandingkan dengan tanda yang bersifat ubudiyah (sholat khusyu’, zikir, mohon ampun kepada Allah).
Begitu juga dalam Hadits, yang memberikan porsi lebih kecil untuk urusan ibadah dibandingkan urusan muamalah. Dari 20 jilid Fath al-Bari, Syarah Shahih Bukhari, hanya empat jilid saja yang berkenaan dengan urusan ibadah. Dari 2 jilid Shahih Muslim, hadits-hadits yang memuat urusan ibadah hanya terdapat pada sepertiga jilid pertama. Hal yang sama terjadi pada Musnad Imam Al Ahmad, Al Kabirnya Thabrani, atau Kanzul Ummal, dan lain-lain.
Kedua, bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka kegiatan ibadah dapat disegerakan, diperpendek, atau ditangguhkan, meski tidak boleh ditinggalkan. Misalnya, dalam Hadits Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik, Rasululllah s.a.w berkata : “Aku sedang sholat, dan aku ingin memanjangkannya, tapi aku dengar tangisan bayi. Aku pendekkan sholatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya karena tangisannya itu”. Dalam Hadits lain Rasulullah s.a.w mengingatkan Imam Sholat supaya memperpendek sholatnya, bila ada jamaah yang sakit, orang lemah , orang tua, atau orang yang punya keperluan mendesak. Bahkan, Aisyah, r.a. menceritakan :
“Rasulullah s.a.w sholat di rumah, dan pintu terkunci. Lalu, aku datang (meminta dibukakan pintu), maka Rasulullah s.a.w. berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat sholatnya” (H.R. Al-Khamsah, kecuali Ibnu Majah).
Ketiga, Ibadah yang berhubungan dengan masyarakat (sosial) dinilai atau diganjar lebih tinggi, bila dilakukan dengan secara perorangan. Contohnya, sholat berjama’ah pahalanya lebih tinggi dibandingkan sholat sendirian (munfarid).
Keempat, bila ada urusan ibadah yang tidak sempurna, atau batal, maka tebusannya (kifarat) harus berupa perbuatan yang berhubungan secara sosial (muamalah). Misal, bila puasa (shaum) tidak mampu dilakukan karena alasan yang dapat dibenarkan, maka yang bersangkutan harus membayar fidyah, memberi makanan bagi orang miskin. Begitu juga dengan ibadah haji, seseorang harus membayar dam, atau denda, jika terdapat ketidakmampuan dalam melaksanakan sejumlah rukun haji. Seseorang yang mempunyai salah atas orang lain, harus meminta maaf kepada yang bersangkutan, sebelum mohon ampun kepada Allah. Keadaan ini tidak berlaku sebaliknya, artinya orang yang bermasalah dengan orang lain tidak dapat ditebus dengan menggantinya melalui kegiatan ritual, seperti melakukan dzikir, sholat atau puasa.
Kelima, ganjaran orang yang melakukan amal sholeh dalam urusan sosial (kemasyarakatan) jauh lebih besar dibandingkan dengan ibadah sunah. Misal, H.R. Bukhari dan Muslim menyebut :
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah pejuang di jalan Allah, (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus-menerus sholat malam dan terus-menerus puasa”
H.R. Abu Dawud, At-Turmudzi, Ibnu Hibban :
“Maukah kamu aku beritahukan derajat apa yang lebih utama dari pada sholat, shiyam dan shodaqoh ? (sahabat menjawab : Tentu !). Yaitu, mendamaikan dua pihak yang bertengkar”.
H.R. Ibnu Hiban :
“Berfikir satu saat adalah lebih baik dari pada bangun sholat satu malam”
H.R. Ad-Dailami :
“Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik dari pada sholat satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik dari pada puasa tiga bulan”
H.R. Ibnu Hajar al-Asqolani :
“Barangsiapa bangun di waktu pagi dan berniat menolong orang yang teraniaya dan memenuhi keperluan orang Islam, baginya ganjaran seperti Haji Mabrur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amal yang paling utama ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, menutup rasa lapar, membebaskan dari kesulitan, atau membayarkan utang”
Masih banyak lagi, ayat al Qur’an atau Hadits yang lebih mengutamakan kesalehan sosial dibandingkan dengan kesalehan ritual.


Tiada hari tanpa berbagi... seberapapun bantuan kita, sangat berarti bagi saudara-saudara kita yang kurang mampu... 


Senin, 06 Juni 2011

Dalam segala bentuk kepedulian terhadap masyarakat, Lazismu berusaha menjadi yang terdepan dan terbaik dalam memberikan layanan terutama dalam konteks musibah baik bencana alam maupun yang lalin. beberapa waktu lalu Lazismu telah mengirimkan bantuan sembako dan peralatan rumah tangga kepada korban letusan gunung merapi dan korban banjir bandang di Ngaliyan , Semarang.
Partisipasi ini terselenggara berkat dukungan dari masyarakat luas atas kepercayaannya kepada LAZISMU Semarang untuk mengkolektifkan bantuan dan diserahkan kepada yang berhak. semoga amal ibadah para donatur dan dermawan di terima di sisi ALLAH...


Senin, 23 Mei 2011

Darul Arqom

dalam upaya menciptakan kader yang tangguh, perlunya adanya mekanisme pengkaderan yg sistematis dan terpadu. di mulai dengan darul arqom maka muhammadiyah senantiasa konsisten untuk berupaya menciptkan kader yang handal dan berguna bagi masyarakat luas.


Lazismu kota Semarang bersama anak-anak korban bencana letusan gunung merapi, magelang

Lazismu kota semarang mengirimkan relawan kepada para korban bencana letusan gunung merapi di magelang, progrma yg diprioritaskan selain memberikan logistik kepada para korban juga recovery mental anak-anak korban bencana agar tidak menimbulkan dampak traumatik pasca bencana yang akan mengganggu perkembangan dikemudian kelak. (Tarom)


Minggu, 22 Mei 2011




Senin, 02 Mei 2011


Zakat Maal

Zakat maal (harta) adalah untuk mensucikan harta dari hal-hal yang haram (harta haram) dan menjaga harta dari haknya orang-orang fakir dan yang lainnya.

Firman Allah Ta’ala (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk kemudian kamu nafkahkan dari padanya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha terpuji.” (Al-Baqarah : 267)

Syarat-syarat yang Wajib Mengeluarkan Zakat
1. Muslim
Karena zakat merupakan salah satu rukun Islam maka tidak diwajibkan kepada orang kafir.
Firman Allah Ta’ala (yang artinya) :
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”
(Al-Furqon : 23)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz radiyallahu ‘anhu. sewaktu mengutusnya ke negeri Yaman :
“Beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shodaqoh dari “harta mereka” yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir dari mereka.”
(HR. Bukhari, Kitab Zakat 3:261 no. 1395 dari hadits Ibnu Abbas ra.)

2. Merdeka
Zakat tidak diwajibkan kepada budak dan hamba sahaya karena hartanya adalah milik tuannya maka tuannyalah yang menzakatinya.

3. Dewasa (baligh)
Zakat hanya diwajibkan kepada orang dewasa tidak kepada anak-anak yang belum baligh. Akan tetapi jika anak-anak itu memiliki harta yang sudah sampai nishob dan satu tahun maka walinya atau orang yang mengurusinya wajib untuk mengeluarkan zakat dengan niat untuk mereka. Hal ini karena keumuman hadits Muadz di atas
(lihat Risalah Zakat oleh Syaikh bin Baz hal 13-14).

4. Berakal
Orang yang tidak berakal kedudukannya sama dengan anak-anak, maka walinya yang dibebani untuk membayar zakat
(lihat Risalah Zakat oleh Syaikh bin Baz hal 13-14).

Syarat-syarat Harta yang Wajib Dizakati
1. Milik Penuh (Al-Milhuttaan)
Yaitu harta tersebut berada dalam pengawasan dan kekuasaan secara khusus dimana pemiliknya berkuasa untuk mengusahakan dan mengambil manfaat daripadanya. Oleh karenanya tidak diwajibkan atas zakat yang diwaqafkan ke pihak masyarakat umum, harta yang dicuri, harta yang dirampas sampai bisa kembali ke tangannya, harta yang dibelinya tapi belum mampu mengambilnya dari penjual, juga harta mukatabah yakni harta budak yang mau membeli dirinya karena seorang Mukatab mampu untuk mengurusi dirinya (lihat majalah Buhuts hal. 13).

Maka barang siapa yang memiliki harta dalam kepemilikan penuh maka wajib atasnya zakat. Kepemilikan itu bisa berupa hasil usahanya, sewaan, pemberian negara, pinjaman atau waqaf untuk dirinya. (Fatawa 25:52)

Harta yang ada dalam kekuasaan seseorang dan tidak diketahui pemiliknya secara tertentu maka hukumnya adalah seperti milik penuh yang wajib dizakati. Seperti harta yang ada di tangan para perampas. (Fatawa 30:325)

2. Harta yang tercampur (Khulatha)
Kalau harta milik masing-masing bisa dibedakan maka membayar zakat secara masing-masing, akan tetapi kalau tidak bisa dibedakan maka membayar zakatnya secara bersama-sama. (Fatawa 25:38)

3. Harta Gabungan (Syurokaa’)
Maka zakatnya adalah wajib bagi yang bagiannya sudah sampai nishob. Seperti dalam muzaro’ah misalkan, maka yang punya tanah wajib membayar zakat dari bagian hasil tanamannya sebagaimana yang mengerjakannyapun wajib membayar zakat dari bagiannya. (Fatawa 25:23; 30:149)

4. Cukup Nishob
Nishob artinya : harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan syari’at. Maka harta yang belum mencapai jumlah tertentu tersebut terbebas dari kewajiban membayar zakat. Dan As-Sunnah telah menjelaskan dan merinci batas nishob dari macam harta yang ada.

Kalau memiliki berbagai macam harta yang terkumpul dalam satu jenis dan masing-masing dari macam-macam harta itu belum sampai nishob maka untuk menyempurnakan nishobnya adalah dengan menggabungkan macam-macam harta yang satu jenis tersebut. Misalkan Wamh dengan sya’ir (jenis gandum), kerbau dengan sapi, kambing kacang dengan biri-biri, dinar dengan dirham, mata uang dengan harta perniagaan.
(Fatawa 25:13,15,24)

Tidak disyaratkan sampainya nishob di satu negeri saja, bahkan kalau nishobnya ada di berbagai negeri maka wajib dizakati. Kalau hilangnya nishob sebelum mengeluarkan zakat bukan karena keteledoran pemiliknya maka tidak wajib membayar zakat.

Untuk menyempurnakan nishob harta syuroka’ (harta gabungan) tidak boleh digabung bahkan wajib membayar zakat atas masing-masing yang berserikat kalau bagiannya sudah sampai nishob kalau bagiannya belum sampai nishob maka tidak wajib zakat. (Fatawa : 23).

5. Berkembang (namaa’)
Zakat hanya diwajibkan pada harta yang berkembang yakni bisa bertambah dengan diusahakan. Dan harta yang berkembang ini dibagi menjadi dua macam :
· Yang berkembang dengan sendirinya seperti binatang ternak dan tanaman
· Yang berkembang dengan berubah dzatnya dan diusahakan seperti mata uang yang berkembang dengan diniagakan dan yang semisalnya. (Fatawa 25:8).

Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: “Al-Wazir berkata: “Telah ijma’ para ulama bahwa tidak ada zakat pada rumah yang ditempati, pakaian yang digunakan, perabot rumah tangga, hamba sahaya, senjata yang biasa digunakan, berdasarkan hadits yang terdapat falam shahihain: “Tidak wajib atas seorang muslim mengeluarkan zakat atas hamba dan kudanya” Saya katakan: “Ini adalah contoh batasan zakat yakni harta itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali yang dipersiapkan untuk berkembang, adapun yang tetap yang tidak mungkin berkembang karena hanya untuk digunakan pemiliknya tidaklah wajib zakat” (Taudihul ahkam:3/28)

6. Berlaku satu tahun (haul)
Disyaratkan berlakunya satu tahun sudah mencapai nishob jika harta berupa mata uang atau binatang ternak, dalam artian semua harta dihitung hasilnya kecuali apa yang keluar dari bumi. Berdasarkan haditsnya Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang memanfaatkan harta maka tidak ada zakat baginya sampai genap satu tahun pada pemiliknya.” (HR. Tirmidzi, Kitab zakat 3:26 no. 631)

Adapun yang keluar dari bumi seperti biji-bijian, buah-buahan maka zakatnya ketika panen dan tidak disyari’atkan menunggu haul (satu tahun).

Firman Allah Ta’ala (yang artinya) : “Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya dengan membayar zakatnya.” (Al An’aam : 14)

Maka barang siapa memiliki emas yang sudah sampai nishob dan telah berlalu selama satu tahun maka wajib zakat. Jika memiliki harta yang belum sampai nishob kemudian memiliki yang bisa menyempurnakan nishob maka haulnya dimulai dari memiliki harta yang menyempurnakan nishob. Jika sampai nishob kemudian beruntung maka keuntungannya itu dihitung dengan modal dasarnya, tidak perlu dengan haul yang baru. Jika modal dasarnya tidak sampai nishob kemudian ketika genap satu tahun (haul) mencapai nishob dengan keuntungannya maka menurut pendapatnya Imam Malik wajib untuk dizakati.

Perlu diketahui bahwa haul (satu tahun) disini adalah tahun hijriyah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi.

Masalah: Boleh membayar zakat sebelum waktunya, kalau ada sebabnya.
Misalkan memiliki nishob dan membayar zakat sebelum berlalu satu tahun, membayar zakat tanaman setelah tumbuh sebelum bijinya siap dipanen dan zakat buah-buahan setelah tampak buahnya sebelum masak.

Jika ragu-ragu apakah sudah berlalu satu tahun (haul) atau belum, maka boleh membayar zakat dan boleh menunggu sampai benar-benar yakin kalau sudah sampai hasil
(Fatawa 25 : 100).

Masalah ini (bolehnya menyegerakan pengeluaran zakat) bedasarkan satu riwayat:

Dari Ali radiyallahuanhu bahwasanya Abbas bin Abdul Muthalib minta ijin untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum datang haul maka Rasulullah memberinya keringanan untuk melakukannya” (HR Tirmidzi dan Hakim dan dihasankan oleh syaikh Albani)

Jika mengganti nishab satu jenis harta dengan harta yang lain ditengah-tengah hitungan haul, maka tidak memutus (memotong) hitungan haul tersebut, menurut salah satu pendapat ulama. Contohnya kalau membeli dengan mata uang senishab dengan senishab dari binatang ternak, sementara nishab yang pertama (mata uang) belum genap hasilnya, maka hitungan haul binatang ternak didasarkan pada haul mata uang. (Fatawa 25 : 39)

Masalah: Apakah zakat maal hanya diberikan di bulan ramadhan saja atau apakah telah ditetapkan waktunya, karena kebanyakan orang kebiasaannya mengeluarkan zakat maal dibulan ramadhan

Syaikh Muqbil menyatakan ketika menjawab masalah yang hampir sama dengan ini
(Ijabatus Sail:121).

Allah Ta’ala berfirman: “Keluarkanlah haqnya (zakatnya) ketika hari panen”.
Ketika tanaman di panen maka wajib ketika itu mengeluarkan zakatnya. Demikian juga emas dan perak yang telah sampai haulnya, jika haulnya bertepatan dengan bulan Ramadhan disalurkan ketika itu tapi jika datangnya haul tidak bulan Ramadhan dikeluarkan ketika itu juga (jangan menunggu bulan Ramadhan-pent). Telah diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pada suatu hari pernah terburu-buru masuk kerumahnya ketika selesai shalat ketika keluar beliau melihat para shahabatnya sedang terheran-heran maka beliau bersabda: “Aku meninggalkan sepotong emas dirumah” . . .

Seyogyanya bagi seorang muslim bersegera menunaikan zakatnya karena mungkin saja datang kepadanya kematian, atau akan tergambarkan berniat jelek, atau tertimpa kebangkrutan, Demikianlah, maka harus lah ia bersegera mengeluarkan zakat secepat-cepatnya karena mungki orang fakir sedang membutuhkannya maka (kita tegaskan kembali-pent) waktu mengeluarkan zakat adalah ketika sudah datang haul atau waktu panen.

Seyogyanya juga memilih orang yang dianggap bisa bermanfaat bagi Islam dan muslimin seperti para penuntut ilmu syar’i. Ada seorang yang baik mencari-cari para penuntut ilmu syar’i, mereka memang membutuhkan. Maka hendaklah cari para penuntut ilmu syar’i. Aku kenal beberapa orang yang telah selesai dari belajar mereka dan Insya Allah pahalanya besar tidak akan terputus dan tidak akan disia-siakan Allah.
Hendaknya mencari para penuntut ilmu syar’i dan mendorong mereka untuk tenang dalam menuntut ilmu.

(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Sua’idi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib)






ZAKAT FITRAH
Oleh: Mukhtarom 

Zakat fithrah merupakan suatu kewajiban yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW kepada kaum muslimin, dan segala sesuatu yang diwajibkan oleh Rasulullah atau yang beliau perintahkan hukumnya sama dengan segala sesuatu yang diwajibkan atau diperintahkan oleh Allah SWT.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mentaati Rasul maka berarti dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi penjaga mereka”. (An Nisa’:80)

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (yakni Para Shahabat Nabi), Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah menguasainya, dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (An Nisa’:115)
“Dan apa yang datang kepada kalian dari Rasul terimalah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (Al Hasyr:7)

Zakat fithrah merupakan suatu kewajiban bagi orang dewasa, anak kecil, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, dan budak (hamba sahaya) dari kaum muslimin.

Berkata ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithrah berupa 1 shaa’ kurma, atau 1 shaa’ gandum, atas seorang budak, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil, dan orang dewasa dari kaum muslimin”. (Muttafaqun’alaih)

Tidak diwajibkan bagi janin yang masih berada dalam kandungan, kecuali kalau dia mengeluarkan zakat tersebut karena ingin melakukan perbuatan yang sunnah, maka hal yang seperti ini tidak mengapa,

Dahulu Amirul Mukminin Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu telah mengeluarkan zakat fithrah untuk janin yang masih berada dalam kandungan.

Wajib mengeluarkannya oleh dirinya sendiri, begitu pula dari orang-orang yang berada di bawah tanggungannya seperti istri atau saudara jika mereka tidak mampu untuk mengeluarkannya dari diri mereka sendiri. Jika mereka mampu maka yang lebih utama adalah dengan mengeluarkannya dari diri mereka sendiri, karena secara asal mereka adalah pihak yang dikenai syari’at zakat fithrah.

Tidak diwajibkan kecuali bagi orang yang mempunyai nafkah lebih dari apa yang dia butuhkan pada Hari ‘Id dan malamnya. Jika pada Hari ‘Id dan malamnya dia tidak mempunyai makanan kecuali kurang dari 1 shaa’ , maka dia tidak terkenai kewajiban membayar Zakat Fithri, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala :

“Bertaqwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (At Taghabun:16)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka kerjakanlah semampu kalian”.(Muttafaqun’alai)


Rabu, 27 April 2011

Pada hari ini sebuah tekad baru dimulai, dengandasar niat karena Allah... insya Allah LAZISMU kota Semarang akan berjuang meraih ridloNYA dengan menyayangi anak yatim, fakirmiskin, anak terlantar, kaum dhuafa.. dan lain-lain..