Jl. Singosari Timur 1A Semarang 50242, Telp: 024-8447350

.

SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Join The Community

Premium WordPress Themes

Jumat, 24 Februari 2012







Selasa, 07 Juni 2011


Saleh Sosial VS Saleh Individu (Ritual)

Saat tulisan mengenai agama atau ke-Islaman di posting di media ini, sejumlah Kompasianers banyak yang mengkritisi mengenai pemahaman sebagian kaum muslimin yang dianggap lebih mementingkan kegiatan ibadah ritual (seperti sholat, puasa, haji, zikir, doa, dll) dibandingkan dengan kegiatan sosial yang mempunyai dampak kebaikan pada masyarakat. Pertanyaan pun terlontar, mengapa bisa terjadi demikian, sehingga tak sedikit orang yang lebih cenderung mementingkan kesalehan ritual dibandingkan kesalehan sosial ?
Banyak jawaban yang dapat dikemukakan, namun sekurangnya ada tiga hal yang yang dapat menjelaskan masalah tersebut, yaitu (1) pemahaman atas esensi ajaran Islam, (2) pemahaman atas fungsi kegiatan ritual, dan (3) pemahaman atas konteks sejarah lahirnya Islam di tengah masyarakat Arab.
1. Pemahaman Esensi Ajaran Islam
Pemahaman atas esensi ajaran Islam berdasarkan sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits) akan memperoleh gambaran yang nyata, bahwa kesalehan sosial jauh lebih utama dibandingkan dengan kesalehan ritual atau kesalehan individual. Berikut ini, adalah beberapa contoh yang terkait dengan masalah tersbut, antara lain :
Pertama, Al-Qur’an dan Hadits memberikan proporsi yang lebih besar atas kegiatan umatnya yang berkenaan dengan muamalah (urusan sosial) dibandingkan dengan urusan “ubudiyah (urusan ritual). Ayatullah Khomeini dalam Al-Hukumah al Islamiyah (dikutip dari Jalaludin Rakhmat : 1988), menyebutkan bahwa perbandingan ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut muamalah adalah 1 : 100. Artinya, untuk satu ayat masalah ibadah, maka ada 100 ayat yang bicara masalah muamalah. Misalnya, yang berkenaan dengan tanda-tanda orang beriman (Q.S 23:1-9), atau tanda orang bertaqwa (Q.S. 3 : 133-135), dijelaskan bahwa tanda yang berkenaan dengan muamalah (memegang amanat, menghindar dari perbuatan tidak bermanfaat, infaq, menahan amarah, memaafkan mansuaia, dll) jauh lebih banyak dibandingkan dengan tanda yang bersifat ubudiyah (sholat khusyu’, zikir, mohon ampun kepada Allah).
Begitu juga dalam Hadits, yang memberikan porsi lebih kecil untuk urusan ibadah dibandingkan urusan muamalah. Dari 20 jilid Fath al-Bari, Syarah Shahih Bukhari, hanya empat jilid saja yang berkenaan dengan urusan ibadah. Dari 2 jilid Shahih Muslim, hadits-hadits yang memuat urusan ibadah hanya terdapat pada sepertiga jilid pertama. Hal yang sama terjadi pada Musnad Imam Al Ahmad, Al Kabirnya Thabrani, atau Kanzul Ummal, dan lain-lain.
Kedua, bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka kegiatan ibadah dapat disegerakan, diperpendek, atau ditangguhkan, meski tidak boleh ditinggalkan. Misalnya, dalam Hadits Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik, Rasululllah s.a.w berkata : “Aku sedang sholat, dan aku ingin memanjangkannya, tapi aku dengar tangisan bayi. Aku pendekkan sholatku, karena aku maklum akan kecemasan ibunya karena tangisannya itu”. Dalam Hadits lain Rasulullah s.a.w mengingatkan Imam Sholat supaya memperpendek sholatnya, bila ada jamaah yang sakit, orang lemah , orang tua, atau orang yang punya keperluan mendesak. Bahkan, Aisyah, r.a. menceritakan :
“Rasulullah s.a.w sholat di rumah, dan pintu terkunci. Lalu, aku datang (meminta dibukakan pintu), maka Rasulullah s.a.w. berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat sholatnya” (H.R. Al-Khamsah, kecuali Ibnu Majah).
Ketiga, Ibadah yang berhubungan dengan masyarakat (sosial) dinilai atau diganjar lebih tinggi, bila dilakukan dengan secara perorangan. Contohnya, sholat berjama’ah pahalanya lebih tinggi dibandingkan sholat sendirian (munfarid).
Keempat, bila ada urusan ibadah yang tidak sempurna, atau batal, maka tebusannya (kifarat) harus berupa perbuatan yang berhubungan secara sosial (muamalah). Misal, bila puasa (shaum) tidak mampu dilakukan karena alasan yang dapat dibenarkan, maka yang bersangkutan harus membayar fidyah, memberi makanan bagi orang miskin. Begitu juga dengan ibadah haji, seseorang harus membayar dam, atau denda, jika terdapat ketidakmampuan dalam melaksanakan sejumlah rukun haji. Seseorang yang mempunyai salah atas orang lain, harus meminta maaf kepada yang bersangkutan, sebelum mohon ampun kepada Allah. Keadaan ini tidak berlaku sebaliknya, artinya orang yang bermasalah dengan orang lain tidak dapat ditebus dengan menggantinya melalui kegiatan ritual, seperti melakukan dzikir, sholat atau puasa.
Kelima, ganjaran orang yang melakukan amal sholeh dalam urusan sosial (kemasyarakatan) jauh lebih besar dibandingkan dengan ibadah sunah. Misal, H.R. Bukhari dan Muslim menyebut :
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah pejuang di jalan Allah, (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus-menerus sholat malam dan terus-menerus puasa”
H.R. Abu Dawud, At-Turmudzi, Ibnu Hibban :
“Maukah kamu aku beritahukan derajat apa yang lebih utama dari pada sholat, shiyam dan shodaqoh ? (sahabat menjawab : Tentu !). Yaitu, mendamaikan dua pihak yang bertengkar”.
H.R. Ibnu Hiban :
“Berfikir satu saat adalah lebih baik dari pada bangun sholat satu malam”
H.R. Ad-Dailami :
“Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik dari pada sholat satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik dari pada puasa tiga bulan”
H.R. Ibnu Hajar al-Asqolani :
“Barangsiapa bangun di waktu pagi dan berniat menolong orang yang teraniaya dan memenuhi keperluan orang Islam, baginya ganjaran seperti Haji Mabrur. Hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amal yang paling utama ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman, menutup rasa lapar, membebaskan dari kesulitan, atau membayarkan utang”
Masih banyak lagi, ayat al Qur’an atau Hadits yang lebih mengutamakan kesalehan sosial dibandingkan dengan kesalehan ritual.

Tiada hari tanpa berbagi... seberapapun bantuan kita, sangat berarti bagi saudara-saudara kita yang kurang mampu... 

Senin, 06 Juni 2011

Dalam segala bentuk kepedulian terhadap masyarakat, Lazismu berusaha menjadi yang terdepan dan terbaik dalam memberikan layanan terutama dalam konteks musibah baik bencana alam maupun yang lalin. beberapa waktu lalu Lazismu telah mengirimkan bantuan sembako dan peralatan rumah tangga kepada korban letusan gunung merapi dan korban banjir bandang di Ngaliyan , Semarang.
Partisipasi ini terselenggara berkat dukungan dari masyarakat luas atas kepercayaannya kepada LAZISMU Semarang untuk mengkolektifkan bantuan dan diserahkan kepada yang berhak. semoga amal ibadah para donatur dan dermawan di terima di sisi ALLAH...

Senin, 23 Mei 2011

Darul Arqom

dalam upaya menciptakan kader yang tangguh, perlunya adanya mekanisme pengkaderan yg sistematis dan terpadu. di mulai dengan darul arqom maka muhammadiyah senantiasa konsisten untuk berupaya menciptkan kader yang handal dan berguna bagi masyarakat luas.

Lazismu kota Semarang bersama anak-anak korban bencana letusan gunung merapi, magelang

Lazismu kota semarang mengirimkan relawan kepada para korban bencana letusan gunung merapi di magelang, progrma yg diprioritaskan selain memberikan logistik kepada para korban juga recovery mental anak-anak korban bencana agar tidak menimbulkan dampak traumatik pasca bencana yang akan mengganggu perkembangan dikemudian kelak. (Tarom)

Minggu, 22 Mei 2011